Belajar Empati Sejak Dini
Anak dilahirkan dalam keadaan fitrah memiliki rasa empati. Rasa empati ini sudah mulai terlihat ketika si anak sudah dilahirkan ke dunia oleh Allah. Ketika anak mulai tersenyum dengan ibunya yang sedang mengendong atau dengan orang yang menyapanya. Pada saat itu, anak sedang berlatih komunikasi dengan orang lain. Empati yang ada dalam aktivitas sosial mulai terbentuk dalam diri anak sejak saat itu.
Setelah beberapa bulan dilahirkan, anak mulai mempelajari perasaan orang lain, terutama perasaan ibunya. Bayi mungil itu akan melihat wajah ibunya dengan lembut sambil tersenyum. Artinya, si bayi mungkin mengkomunikasikan rasa sayang kepada ibunya dalam bentuk aktivitas sederhana, yaitu sungingan senyum. Awal berhubungan dengan orang lain itulah yang akan membentuk empati dalam diri anak.
Semakin bertambah usia anak, maka semakin berkembang pula rasa empati pada diri anak. Jika saja stimulus positif yang diberikan lingkungan , terutama oleh lingkungan keluarga jarang didapatkan anak, maka perkembangan rasa empati ini pun semakin kerdil.
Empati ini akan terus berkembang dalam modifikasi perilaku yang tak terbayangkan.
”Bunda, ada kucing kecil. Tadi aku lihat disana dan aku kasih makan,” kata anak playgroup yang menyapa ketika aku datang ke sekolah.
”Kan kasihan, Bunda,” ucap anak itu kembali ketika anak-anak yang lain mulai mempermainkan kucing tersebut.
Seorang anak pernah kulihat sangat berempati ketika temannya melamun sambil memijit pelipisnya. Anak itu menegur dan dengan bahasa tubuh yang dia perlihatkan. Anak itu memegang pundak temannya sambil melihat wajah si teman dengan sikap orang prihatin.
”Kenapa kamu ? Kamu sakit ya ?”
Ternyata bukan satu kali saja aku melihat anak itu berbuat hal seperti itu. Ketika anak-anak yang lain duduk dengan mengacuhkan Ustad/Bunda yang berdiri di bus kota (pada kunjungan edukatif ke Balai Holtikultura Sum-Sel), seorang anak berdiri. Anak itu tidak mempersilahkan Bunda yang ada di dekatnya untuk duduk, tapi dia berkata, ” Nggak ah, Bun, aku pengen berdiri aja,” katanya. Setelah itu dia menawarkanku rambutan asem yang diambil dari kebun holtikultura (gratis, boleh metik sendiri).
” Nih, Bun, buat Bunda,” disodorkannya 1 buah rambutan yang masih hijau kekuning-kuningan kepadaku.
”Bener nih ngasih Bunda ?” Tanyaku.
” Iya, aku masih banyak di dalam tas, tadi aku ngambil banyak,’ katanya singkat. Di wajah anak itu hanya melihat seulas senyum. Sederhana. 1 buah rambutan asem membuat aku memperhatikan tingkah laku anak tersebut.
Di kelas, dia bukan anak yang banyak ulah. Dia anak yang agak pendiam dibandingkan teman-temannya, tapi dia punya andil ketika jam sholat atau jam makan siang. Saat belajar pun dia sering berteriak, ” Lihat, Bunda sudah diem !” Ketika anak-anak lain mendengar teriakan seperti itu, anak-anak akan segera tertib dan diam.
Belajar empati dari sikap anak di sekolahku menjadikan aku berpikir. Setelah ana dewasa dan bisa menentukan mana yang baik dan yang buruk. Akankah rasa empati itu terus tertanam dalam jiwa dan teraplikasi dalam perilaku mereka ?
Aku jadi menganalogikan antara empati dan pisau. Ketika sebuah pisau diasah, maka dia kan semakin tajam, begitu juga dengan rasa empati yang dimiliki manusia. Ketika sebuah pengalaman mengantarkan seseorang untuk berbuat lagi dan lagi, maka empati akan tumbuh dengan suburnya.
Al Qur’an telah mengajarkan bahwa manusia itu ibarat satu tubuh, jika salah satu anggota tubuh sakit, maka rasa sakit itu pula akan dirasakan oleh anggota tubuh yang lain. Artinya, ketika seorang manusia merasakan sakit, maka manusia yang lain juga akan ikut merasakan hal yang sama. Itulah empati. Perasaan yang lebih dalam dari pada simpati dan tidak didapat secara mudah.
Empati kadang dihalangi oleh rasa ego yang sangat tinggi, maka muncullah rasa gengsi ketika hampir semua orang tidak melakukan perbuatan tersebut meskipun perbuatan itu adalah perbuatan yang berkategori baik.
Ketika anak-anak bersekolah, anak-anak mulai mengerti sifat dan kemauan teman-temannya, memahami perilaku temannya sehingga ini juga membuat rasa empati dalam diri anak lebih terasah. Seberapa terasah rasa empati dari anak, maka :
Lihatlah perilaku sehari-harinya. Lihat perilaku ketika mereka bermain, ketika mereka mempunyai makanan, ketika temannya dalam kesulitan atau musibah. Contoh sederhana, lihatlah ketika anak sholat berjama’ah. Lihat apakah mereka rela berbagi sajadah dengan teman yang tidak mempunyai sajadah.
Perhatikan saat anak bermain, apakah anak tipe yang suka mengalah atau dominan sehingga keinginannyalah yang harus dinomorsatukan.
Awasi mereka saat mereka tahu tentang suatu materi pelajaran, apakah mereka suka mengajari teman yang tidak tahu ataukah mereka diam sampai ada orang yang bertanya padanya.
Kesediaan membantu sesama teman, orang tua, dan guru apakah murni untuk sekedar membantu atau hanya kesediaan ’semu’ yang diembel-embeli keinginan ingin dipuji, mendapat nilai besar, dan disayang orang tua dan guru saja.
Kecintaan kepada makhluk hidup, entah itu tumbuhan atau hewan, patut dijadikan patokan rasa empati anak kepada lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar