PENGANTAR
Sudah dua puluh tahun yang lalu Arswendo Atmowiloto bilang “Mengarang itu gampang”. Tak Percaya, baca saja bukunya yang berjudul Mengarang Itu Gampang. Dalam buku yang diterbitkan oleh PT Gramedia, Jakarta, 1984, itu Arswendo mencoba meyakinkan para pembaca bahwa sebenarnya kegiatan menulis atau mengarang itu tidak sesukar yang dibayangkan orang. Asalkan: orang yang mau menulis atau mengarang tersebut benar-benar punya kemauan dan memaksa diri sendiri untukmenulis, menulis, dan terus menulis!
Sebaliknya, kalau keinginan untuk menulis atau mengarang itu hanya ada dalam cita-cita, keinginan, dan tak pernah dilaksanakan, kegiatan menulis atau mengarang itu menjadi sukar dan tak pernah berwujud. Karenanya, kalau ada keinginan untuk menulis dan menjadi seorang penulis, usahakan untuk mewujudkan keinginan tersebut saat itu juga, jangan ditunda-tunda. Ide dan atau mood itu sering sekali datangnya tiba-tiba dan jarang betul berkali-kali. Ia hanya datang sekali. Kalau tak ditangkap, tak dimanfaatkan, tak diwujudkan, ide atau mood menulis itu akan hilang percuma. Sayang bukan?
Tujuan dan Ragam Tulisan
Seseorang yang menulis tentu punya tujuan atau harapan. Ia mungkin ingin mengungkapkan hasil pengamatan, hasil percobaan, hasil penelaahan, hasil wawancara, gagasan personal, dan sebagainya dengan dukungan data atau fakta yang dapat diuji kebenarannya. Sebaliknya, ada juga orang yang menulis sesuatu yang dirasa secara personal atau kelompok, dibayangkan akan terjadi di suatu tempat pada suatu masa, diimajinasikan/dikhayalkan, ataupun sesuatu yang pernah terjadi secara faktual tetapi sudah ditambah-tambah, dikurangi, diganti, difiktifkan sehingga tak dapat lagi dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Tulisan-tulisan yang mengungkapkan sesuatu yang dapat dibuktikan kebenarannya lazimnya disebut tulisan atau karangan ilmiahatau karangan faktual, karangan nonfiksional. Sebaliknya, tulisan yang tak dapat dibuktikan kebenarannya disebut tulisan atau karangan fiksional. Kali ini, sesuai dengan pesan sponsor, kita hanya akan membahas ragam tulisan yang kedua, tulisan atau karangan fiksional. Ragam tulisan ilmiah akan kita bahas pada kesempatan lain. Oke?
Tulisan atau Karangan Fiksional
Sebagaimana telah diuraikan di atas, tulisan atau karangan fiksional itu merupakan tulisan yang mengungkapkan, merekam sesuatu yang dirasa secara personal atau kelompok, dibayangkan akan terjadi di suatu tempat pada suatu masa, diimajinasikan/dikhayalkan, ataupun sesuatu yang pernah terjadi secara faktual tetapi sudah ditambah-tambah, dikurangi, diganti, difiktifkan. Tulisan tersebut secara umum cenderung bersifat subjektif, ditafsirkan bermacam-macam. Itulah salah satu sebab mengapa tulisan tersebut sukar sekali dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Para ahli memasukkan tulisan yang disebut “puisi”, “cerita”, dan “naskah drama” ke dalam kelompok tulisan atau karangan fiksional. Hal ini (mungkin) terjadi karena “puisi”, “cerita”, dan “naskah drama” sampai dengan saat ini cenderung berisi ungkapan sesuatu yang tak faktual, diragukan kebenarannya. Karenanya, kalau mau pembaca agak kerepotan memikirkan kebenaran apa yang Anda tulis, tulis sajalah “puisi”, “cerita”, dan “naskah drama”. Tapi, sekali lagi, sesuai dengan permintaan sponsor, kali ini kita omong-omong saja perihal bagaimana menulis cerita saja ya? Nanti, kapan-kapan, kita omong-omong soal penulisan naskah drama. Kata orang kalau terlalu banyak sekaligus repot nanti. Karenanya, panduan untuk menulis puisi dan cerita pun akan kita bahas satu per satu biar Anda tak kerepotan, tak kebingungan, dan berbagai tak lainnya.
MENULIS CERITA
Cerita merupakan bentuk lain tulisan/karangan fiksional yang memiliki struktur yang berbeda dengan puisi. Hal ini terjadi karena cerita secara konvensional lebih dimaksudkan untuk memaparkan peristiwa tertentu yang dialami oleh tokoh tertentu di tempat tertentu dalam rentang waktu tertentu dengan pola tulis yang khas, berbeda dengan pola tulis puisi ataupun naskah drama. Karenanya, kegiatan dan tahapan menulis sebuah cerita menjadi lebih kompleks. Sejak di SD sebenarnta kita sudah mulai belajar menulis cerita melalui kegiatan belajar menulis sinopsis cerita-cerita yang telah dibaca. Dalam kegiatan tersebut Anda secara tidak langsung melihat bagaimana pengarang cerita yang Anda baca tersebut mengurut peristiwa dalam ceritanya, menghidupkan tokoh, menggambarkan latar cerita, menggunakan kata dan kalimat, dan sebagainya. Bila Anda ingin bereksperimen lebih lanjut, Anda dapat mencoba melanjutkan cerita yang belum selesai atau bagian awal dan tengah yang sengaja dibuang/dihilangkan. Bila telah selesai lalu Anda cocokkan kembali dengan bagian-bagian tersebut. Hasil eksperimen ini bisa saja sama ataupun berbeda dengan cerita asli. Tapi itu tak jadi soal. Yang penting Anda sudah mencoba keluar dari zona aman. Anda sudah mulai kreatif. Selanjutnya, Anda dapat juga mencoba menciptakan peristiwa lain sesuai dengan imajinasi Anda setelah membaca sebuah cerita. Anda mungkin tidak setuju kalau tokoh dalam cerita yang Anda baca tersebut harus bunuh diri pada akhir cerita. Karena itu, ciptakan saja peristiwa lain yang lebih cocok menurut Anda hingga akhir cerita tersebut menjadi berbeda, dari sad ending ke happy ending. Cara lain (yang lebih ilmiah) untuk menulis cerita ialah melalui proses atau tahapan sebagaimana Anda menulis karangan ilmiah. Langkah-langkah yang perlu Anda tempuh dalam model ini sebagai berikut.
Langkah Pertama:
Sebagai penulis pemula, Anda sebaiknya membuat corat-coret kasar sebagai pegangan awal untuk pengembangan cerita Anda. Rekan-rekan Anda yang sudah menulis cerita lazimnya menyebut hal itu sebagai kerangka cerita atau jembatan keledai(?). Dalam kerangka itu termuat:
1) Pokok persoalan yang akan diceritakan;
2) Tokoh yang mengalami persoalan tersebut;
3) Tempat dan waktu terjadinya peristiwa;
4) Konflik yang dialami oleh tokoh;
5) Cara tokoh menyelesaikan konflik;
6) Nasib tokoh pada akhir cerita;
7) Dan posisi Anda sebagai pencerita.
Pokok persoalan, tokoh, dan peristiwa yang diangkat dalam cerita mungkin saja berupa kejadian nyata yang Anda alami, Anda dengar, Anda Baca, ataupun Anda lihat dalam kehidupan sehari-hari yang sudah Anda samarkan, Anda tambah, Anda perkaya dengan imajinasi, sedemikian rupa sehingga sukar dibuktikan kebenarannya oleh pembaca. Tentu saja tidak semua pokok persoalan ataupun peristiwa layak diangkat menjadi sebuah cerita karena cerita yang kuat lazimnya menyajikan pokok persoalan yang unik, yang menarik untuk diceritakan, dan memberikan suatu pencerahan pada pembaca.
Langkah Kedua:
Tentukan bagaimana sebaiknya Anda memulai atau membuka cerita. Anda mungkin dapat memilih salah satu di antara sekian banyak cara yang sudah pernah digunakan oleh cerpenis atau novelis senior dalam membuka cerita.Misalnya:
1) Perkenalkan tokoh yang akan mengalami peristiwa dalam cerita Anda. Perkenalan ini lazimnya dibuat dalam bentuk deskripsi fisik ataupun mental sang tokoh, baik dalam bentuk uraian langsung, maupun dalam bentuk monolog ataupun dialog sang tokoh dengan tokoh lain.
2) Gambarkan lingkungan alam tempat tokoh berada. Anda dapat saja memulai cara ini dengan deskripsi cuaca, kegiatan manusia/hewan, dan sebagainya.
3) Penempatan satu peristiwa tertentu yang Anda anggap kuat atau penting dalam cerita tersebut.
Langkah Ketiga
Cara Anda memulai cerita akan memberi efek pada pengurutan peristiwa dalam cerita. Para analis sering menggunakan istilah alur atau plot untuk merujuk pada cara seorang penulis mengurutkan peristiwa dalam cerita tertentu. Bila Anda memulai cerita dengan pengenalan tokoh atau lingkungan alam tempat tokoh berada lalu dilanjutkan dengan peristiwa lain secara kronologis (urut waktu kejadian), Anda menggunakan alur maju. Sebaliknya, bila Anda memulai cerita dengan peristiwa tertentu yang menjadi klimaks atau peristiwa lain yang Anda anggap kuat lalu Anda lanjutkan dengan penjelasan sebab-musabab terjadinya hal itu melalui sistem sorot balik,flashback, Anda telah menggunakan alur mundur. Tapi, Anda tak perlu memikirkan apa komentar para analis. Yang penting, ambil kertas, ambil pena, buat sebuah atau beberapa buah paragraf pembuka cerita Anda.
Langkah Keempat:
Saat membuka cerita Anda sudah harus menentukan di mana posisi Anda sebagai penulis atau pencerita. Artinya Anda harus memilih: bermain dalam cerita Anda atau jadi penonton saja. Bila Anda ikut bermain di dalamnya, Anda sebaiknya menggunakan sudut pandang aku. Semua hal dalam cerita mengalir dari tokoh aku. Sudut pandang ini memudahkan Anda dalam memaparkan berbagai hal tentang tokoh aku, termasuk pemikirannya, perasaannya, dan sebagainya. Sebaliknya, bila Anda bertindak sebagai penonton, Anda mencoba menceritakan apa yang dapat Anda amati, Anda dengar, Anda baca tentang tokoh tertentu dalam cerita. Anda berada di luar cerita dan bertindak sebagai pelapor atau komentator. Kadang-kadang, dalam cerita-cerita yang telah terpublikasikan, pelapor atau komentator menjadi orang yang mahatahu. Ia tahu juga apa yang dirasakan, dipikirkan, dan yang terbersit dalam hati tokoh. Terserah Anda sajalah. Toh, yang punya cerita juga Anda.
Langkah Kelima:
Usahakan agar tokoh cerita Anda hidup, seperti layaknya tokoh dalam dunia keseharian. Kalau tokohnya binatang atau pohon, binatang dan pohon itu mirip dengan binatang dan pohon yang Anda temukan dalam kehidupan Anda. Ia memiliki sifat-sifat kebinatangan dan kepohonan, meskipun mungkin binatang atau pohon yang Anda gambarkan itu unik, mungkin hanya ada di tempat Anda atau dalam khayalan Anda. Sebaliknya, kalau tokoh cerita Anda adalam manusia, tokoh tersebut idealnya memiliki sifat/watak seperti manusia pada umumnya. Ia memiliki sifat kemanusiaan, meski kadang Anda mungkin menggambarkan tokoh yang unik, hanya ada dalam lingkungan Anda. Karenanya, tokoh sebaiknya tergambar secara detail, baik fisik maupun mental/jiwa/perasaannya. Anda boleh saja menyebut atau menguraikan secara langsung ciri-ciri fisik ataupun perasaan tokoh Anda. Cara ini disebutcara atau teknik analitik. Namun, Anda juga dapat menghadirkan kondisi fisik, tabiat, dan perasaan tokoh Anda melalui dialog tokoh dengan dirinya sendiri, dialog antartokoh, tanggapan tokoh lain, ataupun penggambaran lingkungan tokoh. Cara ini disebut teknik dramatik. Kadang-kadang, penggambaran latar cerita dan penggunaan diksi atau kata-kata dalam dialog tokoh, seperti ungkapan-ungkapan daerah/lokal, dapat membantu memperjelas identitas dan watak tokoh Anda.
Langkah Keenam
Kalau Anda kehabisan kata, beristirahatlah. Kalau masih sanggup, lanjutkan cerita Anda dengan pemaragrafan peristiwa-peristiwa yang sudah Anda rancang dalam tahap pertama. Ingat, sebagai sebuah refleksi realitas keseharian, usahakan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh berlangsung dalam suatu urut waktu ataupun sebab akibat. Gunakan juga dialog ataupun monolog dalam paragraf-paragraf Anda untuk membantu menjelaskan mengapa peristiwa atau hal tertentu terjadi dan bagaimana reaksi tokoh utama atau tokoh lain terhadap peristiwa tersebut. Ingat, dialog ataupun monolog akan sangat membantu Anda dalam memperkenalkan dan mengembangkan watak tokoh dalam cerita sehingga mirip dengan realitas keseharian. Usahakan agar Anda tidak mengurut peristiwa atau memperkenalkan tokoh Anda dalam bentuk singkat kata atau singkat cerita.
Langkah Ketujuh:
Usahakan menjalin peristiwa yang akan diceritakan sedemian rupa sehingga menghasilkan konflik cerita. Konflik dalam cerita dapat berupa konflik antara tokoh dengan tokoh lain, konflik antara tokoh dengan dirinya sendiri, dan konflik antara tokoh dengan alam atau lingkungan. Hal ini perlu karena kekuatan sebuah cerita sangat bergantung pada konflik yang dialami oleh tokoh dalam cerita. Konfliklah yang membuat pembaca menjadi hanyut, larut, ingin tahu kelanjutan, dan menghembus napas lega ataupun menangis pada akhir cerita.
Langkah Kedelapan:
Tutup atau akhiri cerita Anda bila peristiwa yang dirancang dalam corat-coret awal sudah habis. Jangan terburu nafsu untuk menambah peristiwa-peristiwa lain yang akan membuat cerita Anda menjadi kepanjangan, bertele-tele. Nanti, kalau sudah bosan jadi cerpenis, buat cerita lain yang lebih panjang (novelet) atau sekalian saja dalam bentuk yang mahapanjang (novel). Sudahlah, itu perkara nanti. Sekarang buat saja paragraf penutup untuk cerita Anda. Jumlahnya boleh satu, dua, ataupun tiga paragraf. Dalam paragraf tersebut Anda dapat saja menggambarakan keberhasilan tokoh menyelesaikan konflik yang dihadapinya (happy ending). Atau, sebaliknya, Anda membiarkan tokoh pasrah, mati, pada akhir cerita. Kalau Anda tak dapat memilih, kasihan pada tokoh Anda, biarkan saja cerita Anda menggantung, tanpa penyelesaian, biarkan saja pembaca menjadi penasaran dan menyelesaikan sendiri cerita tersebut. Kasian deh lu!
Langkah Kesembilan:
Simpan dulu cerita yang sudah Anda tulis. Kalau ada teman yang mau membaca karya Anda, alhamdulillah. Minta komentar sang teman setelah membaca cerita tersebut. Jangan marah kalau komentarnya tidak sesuai dengan harapan Anda. Semua komentar atau tanggapan harus Anda terima dengan hati yang lapang. Anda timbang-timbang saja semua komentar tersebut. Kalau Anda setuju dengan saran atau komentar rekan Anda, ubah saja seperlunya. Anda dapat juga melakukan evaluasi terhadap karya Anda secara mandiri. Saat rehat siang atau menjelang tidur malam, baca ulang apa yang sudah Anda tulis. Tanyakan:
1) apakah pokok persoalan yang mau kusampaikan telah tersampaikan dalam cerita ini?
2) apakah peristiwa-peristiwa yang kupilih ini mampu menyampaikan tema tersebut?
3) apakah tokoh yang kupilih cocok untuk menyampaikan tema tersebut?
4) apakah tokoh dan peristiwa dalam cerita mirip dengan realitas sehari-hari?
5) apakah kata atau bahasa yang kugunakan dalam cerita ini memikat, mudah dipahamioleh pembaca?
6) apakah, apakah, apakah, apakah?
Langkah Kesepuluh:
Hasil evaluasi tersebut akan mengarahkan Anda untuk merevisi atau tidak merivisi naskah yang sudah Anda hasilkan. Bila Anda rasa tak ada lagi yang perlu direvisi, coba saja kirimkan karya Anda ke surat kabar lokal ataupun nasional. Jangan lupa berdoa agar karya Anda dimuat. Kalau tidak juga dimuat setelah Anda kirim, anggap saja “kerusakan bukan pada pesawat Anda”. Anda harus terus berkarya: menulis, menulis, dan menulis lagi. Suatu saat karya Anda pasti terpublikasikan. Yakin sajalah.
Langkah Kesebelas:
Langkah Kesebelas:
Banyak-banyaklah membaca. Orang bilang, “penulis yang baik adalah juga pembaca yang baik”. Kalau ingin jadi penulis yang hebat, Anda harus banyak membaca karya yang sudah ditulis oleh penulis yang hebat sebelum Anda. Lihatlah bagaimana penulis tersebut mengemas peristiwa tertentu dalam ceritanya. Lihat juga diksi/kata-kata yang digunakan, kalimatnya, dan sebagainya. Anda boleh mencontoh hal yang Anda anggap kuat. Tapi, jangan menjiplak. Itu hukumnya haram. Lagipula, “sejelek-jelek penulis adalah penulis yang menjiplak karya orang lain tanpa perubahan apa pun”. Itu kata Mukhlis lo!
Bacaan
Aminuddin. 1990. Sekitar Masalah Sastra: Beberapa Prinsip dan Model Penerapannya. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh.
Atmowiloto, Arswendo. 1984. Mengarang Itu Gampang. Jakarta: PT Gramedia.
Endraswara, Suwandi. 2003. Membaca, Menulis, Mengajarkan Sastra. Yogyakarta: Kota Kembang.
Teeuw. A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra: Kumpulan Karangan. Jakarta: Gramedia
Tjahjono, L. Tengsoe. 2002. Menembus Kabut Puisi. Malang:Dioma.
Staf Pengajar pada Prodi PBSID, FKIP, Unsyiah
Sumebr: http://gemasastrin.wordpress.com/2007/04/17/panduan-menulis-cerita/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar