Jumat, 28 September 2012

Penghayatan Ilmu Sebagai Sistem


Oleh: Slamet Soeseno

    Pada kesempatan berceramah tentang teknik penulisan ilmiah popular di kampus Bulaksumur Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, bulan Oktober yang lalu, penulis ditanya oleh seorang mahasiswa “bagian atasan” (ia seorang pemimpin organisasi): “Bagaimana cara bapak menguasai macam-macam pengetahuan tentang kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan itu, sampai dapat menyajikannya sebagai tulisan ilmiah popular?  Apakah dulu belajar di Fakultas Biologi?”

    Agak membuat terkesiap juga pertanyaan itu!
 

     Agar dapat menguasai macam-macam pengetahuan (dari kepustakaan), perlu suatu sistem penggarapan.  Sistem ini diajarkan sebagai ilmu (“ngelmu” kata Pak Notoboto) di setiap akademi dan perguruan tinggi (PT).  Di sana kita dididik menguasai ketrampilan macam-macam, yang diperlukan untuk melakukan penelitian, pengkajian dan pemecahan masalah secara ilmiah, dengan “ngelmu” sebagai sistem.  Atau dengan kata-kata yang tidak bergurau: dengan metoda ilmiah.

    Di samping “ngelmu” ini, kita memang diberi pengetahuan oleh Bapak Dosen dari bidang keilmuan tertentu.  Sial sekali, pengetahuan ini sering disebut “ilmu” juga, tetapi sebenarnya bukan “ngelmu”, melainkan pengetahuan.  Atau, agar tetap dapat memakai istilah ilmu juga: “ilmu sebagai produk.”

    Ketrampilan apa saja yang diajarkan, agar seseorang mampu mengolah informasi (alias menerapkan ilmu sebagai sistem), untuk mencari tahu “pengetahuan” (atau ilmu sebagai produk) itu?  Pengetahuan yang kemudian ditulis menjadi reading material yang bisa bergaya ilmiah tetapi boleh juga ilmia yang ngepop.

Mendengarkan dan membaca

    Pertama-tama, seorang mahasiswa dilatih menjadi pendengar yang baik.  Ia harus mendengarkan kuliah seorang dosen.  Tentu tidak sekedar mendengarkan, tetapi menyerap pengetahuan, agar memperoleh gambaran yang tajam dan pengertian yang mendalam.  Kalau pada kuliah itu ia tidak menyadari tugasnya, melainkan bergurau saja seperti di SMA dulu, maka ia telah kehilangan sebagian dari kesempatan melatih diri menjadi pendengar yang akademis.  Padahal sang waktu terbang terus, sedang umur makin tua.

    Tugas mendengarkan kuliah ini disertai tugas membuat resume, yang pokoknya mencatat pokok pemikiran saja, dengan kata-kata sendiri.Tidak mungkin mencatat semua kalimat penjelasan yang dikuliahkan seorang dosen, bukan?

    Di rumah, catatan ini dibenahi lagi dan disusun menjadi “reading material” yang lebih sistematis, agar mudah difahami, sambil dicek sekali lagi kebenarannya dengan materi yang sama, yang terdapat dalam textbook, buku standar, handbook atau treatise.  Kalau buku ini tertulis dalam bahasa asing, mahasiswa itu belajar lebih keras lagi, untuk menguasai bahasa asing itu.  Ia tidak mundur di tengah perjoangan menuntut ilmu, lalu hanya mengandalkan diktat Bapak Dosen saja.

    Membenahi catatan hasil kuliah ini dengan sendirinya sudah memaksa seseorang untuk membaca buku secara baik.  Yaitu mengerti benar apa yang dibacanya itu, dengan tafsiran yang benar pula.

Meringkas bahan dan berbicara

    Ketrampilan kedua yang diperlukan agar dapat menerapkan ilmu sebagai sistem ialah, menampung sari dan meringkas bahan informasi.  Lazimnya, latihan berupa pembuatan referat (tulisan singkat berbentuk intisari, dari reference atau tulisan lain yang menjadi acuan).  Tentu dengan kata-kata sendiri.  Tidak hanya satu-dua referat saja, yang mesti dibuat, tetapi belasan (mestinya) agar mahasiswa trampil meringkas bahan bacaan, dan menulisnya kembali dengan ata-kata sendiri.

    Referat yang penulisannya acak-acakan atau kalimat Indonesianya berantakan, sudah jelas akan diminta diberulkan oleh dosen yang bersangkutan.  Dosen, yang tidak dipandang aneh, bahwa ia mengurusi bahasa Indonesia, di luar bidang keilmuannya.

    Untuk menguji apakah isi referat itu sudah betul, dosen itu minta mahasiswa yang bersangkutan  untuk menyajikannya di depan kelas.  Dalam keadaan normal, kelas di PT tidak ramai seperti rapat raksasa.  Jadi penyajian referat juga berjalan dengan baik.

    Menyajikan referat itu sudah tentu tidak boleh sekedar membaca kata demi kata seperti seorang pembesar membaca paper buatan staf pembantunya.  Ia harus mampu menyajikan pokok bahasan yang ada, kemudian memberi penjelasan dan kejelasan bagi orang-orang yang bertanya: mengapa?  Penyajian itu harus memberikedalaman pada cerita yang dikemukakan.

    Semuanya dibawakan dengan sikap dan tutur kata yang baik, tentunya.  Cara menyajikan yang belum meyakinkan, atau yang masih overacting, memang tidak ditegur, tetapi semua peserta acara penyajian referat itu juga merasa, biasanya, bila ada seseorang yang masih belum berhasil menyajikan referat di depan orang banyak.  Tetapi makin sering seseorang mengalami acara yang demikian, makin mahir ia berbicara dan bersikap di mimbar akademik.

    Siapa yang mengajar berbicara akademik itu?  Jelas para dosen, yang selama ini memberi kuliah dan menjadi contoh sehari-hari.  Tanpa dididik secara khusus (terlalu naïf untuk mengadakan matakuliah “cara berbicara akademis”), para mahasiswa sebenarnya juga sudah tahu bagaimana harus bersikap waktu berbicara.

    Mula-mula jelas ada yang masih “mbulet”, berputar-putar dengan berbasa-basi dulu, sebelum sampai pada inti persoalan.  Ada pula yang cara berbicaranya selalu menggunakan kalimat yang tidak lengkap.  Putus di tengah dan tidak diselesaikan (Harap pndengar mengerti sendiri apa yang dimaksud).  Belum selesai kalimat yang satu, sudah disusul dengankalimat baru yang tidak selesai lagi (Harap pendengar melanjutkan sendiri kalimat sepotong itu).

    Teapi makin mahir berbicara akademis, seseorang akan makin terasa berbicara “straight to the point”, tetapi jelas dan lengkap.  Tidak terlalu rendah hati.  Tetapi juga tidak sok serem.  Ia pun mantap dan toleran menghadapi pertanyaan, kritik dan koreksi.

    Tidak hanya orang yang ditunjuk menyajikan referat itu saja yang berbicara, tetapi semua mahasiswa peserta acara itu harus bisa, berani dan mampu berbicara, bertanya dan mengoreksi, dengan sikap dan tutur kata yang “kepenak”, tidak menyinggung perasaan.  Kalau sesudah lulus ia ternyata belum mahir menyatakan pendapat dan koreksi atas sesuatu yang kurang benar, maka itu berarti, ia kurang memanfaatkan kesempatan berlatih berbicara menyatakan pendapat, pada acara membawakan referat berikut diskusi yang menyusulnya.  Dari seorang sarjana lulusan PT sudah tentu kita harapkan, agar ia dapat berbicara akademik setiap kali ia mengemukakan masalah dan menyajikan usul alternatif pemecahannya.
Menulis makalah berbobot

    Ketrampilan ketiga, agar seseorang diakui sebagai akademikus yang tahu menerapkan ilmu sebagai sistem, ialah menulis.  Kemampuan menulis yang merupakan ciri khas seseorang yang berbudaya, bagi seorang sarjana (dan para calonnya) merupakan syarat mutlak.  Bukankah mereka nyata-nyata seorang yang berbudaya?

    Latihan menulis pun, pada setiap PT yang mana un, sudah diberikan secara melimpah sebenarnya.  Mulai dari membuat resume kuliah, referat dan term paper (research paper), sampai laporan praktek dan skripsi atau tesis.  PT yang normal tidak hanya menugaskan penulisan satu term paper saja atau satu jenis skripsi, tetapi lebih.  Ada beberapa laporan praktek.  Beberapa laporan studi kasus.  Beberapa minor tesis dan major tesis.  PT yang normal idak akan hanya membebani mahasiswanya dengan tugas mendengarkan kuliah terus-menerus saja.

    Menulis paper atau makalah sudah tentu tidak boleh hanya sekedar menulis, tetapi mesti akademis atau ilmiah.  Untuk menguji apakah bahan yang ditulis itu benar-benar sudah berbobot ilmiah, mahasiswa yang bersangkutan diminta menyajikan hasil karya tulisnya lagi, seperi pada acara pembuatan referat sebelumnya.  Tetapi sekarang tidak hanya di depan kelas sendiri saja, melainkan di depan seminar, sebuah forum yang lebih luas.

    Biasanya, sebelum disajikan, paper itu dikonsultasikan dulu dengan dosen pembimbing yang bersangkutan.  Kalau pada konsutasi itu mahasiswa tersebut memang mau menfaatkan bimbingan itu baik-baik (cepat tanggap dan cepat pula menyempurnakan paper, sesuai pengarahan), maka karya tulis itu pun berbobot ilmiah.

    Sebaliknya, karya tulis akan tetap kurang sempurna, kalau mahasiswa yang bersangkutan lamban tanggap, dan baru memperbaikinya pada hari-hari terakhir menjelang batas waktu saja.  Lalu sang dosen dipojokkan untuk memeriksanya buru-buru juga, karena didesak waktu.  Maka di masyarakat pun kita kemudian menjumpai campuran arya tulis yang berbobot dan karya tulis yang “lumayan” saja.

Menganalisa dengan penalaran

    Ketrapilan keempat, agar seseorang diakui sebagai akademikus yang berbobot, ialah daya menganalisa informasi dengan penalaran yang benar, agar dapat menarik kesimpulan yang benar pula.  Hal ini diajarkan dengan latihan pemecahan soal, setelah diberi input data dan informasi, baik yang relevan maupun yang tidak.  Mahasiswa yang bersangkutan dilatih untuk mengidentifikasi (mengenal) masalah, yang biasanya terselubung.  Lalu mengkaji informasi, mana yang relevan dan mana yang tidak, untuk meneliti kebenarannya dengan penalaran yang sehat, agar dapat memakainya sebagai evidensi (hal yang mendukung), yang membantu membenarkan anggapan, meskipun tidak dapat membuktikan.  Semuanya itu untuk melatih mengembangkan penalaran yang sehat.

    Kesimpulan yang ditarik salah, karena penalaran yang salah (atau tidak sehat), sudah tentu perlu dibetulkan oleh dosen pembimbing yang bersangkutan.  Mungkin kesalahannya disebabkan oleh analisa informasi yang kurang obyektif, atau memang sengaja dibuat demi kepentingan sesuatu fihak.

    Analisa ini paling sedikit dilakukan dengan mengajukan pertanyaan analitis sendiri, mengapa sesuatu fakta, hal atau masalah itu terjadi?  Jawaban yang ditemukan setelah penelitian, pengkajian dan uji coba, merupakan hasil analisa yang dapat dicatat sebagai unsur pendukung kebenaran suatu anggapan.  Atau pendukung ketidak-benaran suatu dugaan.

    Kemudian dengan pertanyaan: bagaimana duduknya perkara sampai terjadi hal, fakta atau masalah itu?  Jawaban yang ditemukan merupakan pendukung pula, apakah sesuatu anggapan itu benar atau tidak.

    Lalu dilanjutkan dengan pertanyaan: di mana dan kapan masalah itu timbul?  Kadang-kadang sudah kedaluarsa, dan sudah pernah dipecahkan masalahnya oleh orang lain.

Intinya

    Keempat ketrampilan itu bukannya diajarkan secara terpisah sendiri-sendiri, melainkan terpadu, selama masa pendidikan akademis berlangsung.  Sayang, tidak setiap (semua) mahasiswa merasa bahwa ia tidak semata-mata diminta untuk menghafal diktat, supaya lulus ujian cepat-cepat (“pokoknya, kalau tidak sama dengan diktat, mesti berabe”), tetapi juga melatih diri agar mahir menguasai keempat ketrampilan yang diperlukan untuk menerapkan ilmu sebagai sistem itu.

    Hal lain, seperti berolah raga dalam POR-POR 9demi kesegaran jasmani dalam rangka memenuhi “mens sana in corpore sano”), berekreasi (demi kesegaran rohani) dan mengabdi pada masyarakat (mengajarkan sekolah sore atau aktif dalam organisasi selimut), hanya merupakan kegiatan penunjang saja sebetulnya, agar nanti setelah lulus menjadi sarjana, mahasiswa itu di samping “tahu tentang ilmu yang dipelajarinya sebagai produk” dan “mampu menerapkan ilmu sebagai sistem”, masih tetap mampu juga bertindak sebagai warga masyarakat yang normal.  Warga yang cepat tanggap terhadap setiap kejadian di sekelilingnya, cepat mengenali masalah dengan jelas, sejelas-jelasnya, dan cepat menemukan alternatif pemecahannya yang jelas, sejelas-jelasnya pula, karena langsung menembak intinya.

Catatan:  artikel ini dikutip dari Harian Kompas, terbitan tahun 1982 (tanggalnya sudah hilang).  Administrator tidak mengubah apapun, termasuk istilah bahasa asing yang tidak dicetak miring, kecuali kesalahan ketik.  Artikel ini dimuat ulang di situs ini karena relevan dengan misi situs ini.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar