Rabu, 10 April 2013

PEMBENTUKAN KARAKTER MANUSIA MENURUT PARA AHLI

Thobib Al-Asyhar
(Alumni PSTTI UI, saat ini Mahasiswa Program Doktor Psikologi Islam UIN Jakarta)

Dalam buku The Psychology of Moral Development (1927), Lawrence Kohlberg menyimpulkan terhadap hasil penelitian empiriknya terhadap perkembangan moralitas anak-anak dari berbagai latar belakang agama, yaitu Yahudi, Kristen, Hindu, Budha, dan Islam, bahwa agama dan institusi agama tidak memiliki pengaruh terhadap perkembangan moral seseorang. Teori yang dihasilkan dari penelitian Kohlberg dikenal dengan teori kognitif-developmental, yaitu 3 (tiga) tingkatan dan 6 (enam) tahapan perkembangan moral yang menegaskan bahwa pada intinya moralitas mewakilil seperangkat pertimbangan dan putusan rasional yang berlaku untuk setiap kebudayaan, yaitu prinsip kesejahteraan dan prinsip keadilan. Menurutnya, prinsip keadilan merupakan komponen pokok dalam proses perkembangan moral yang kemudian diterapkan dalam proses pendidikan moral.

Pendekatan Kohlberg yang sangat empirik tersebut tidak mempertimbangkan potensi suci (homo devinans and homo religious) yang dimiliki oleh setiap manusia yang sangat berpengaruh dalam proses perkembangan moral dan pembentukan perilaku. Kohlberg lebih menitikberatkan pada adanya interaksi sosial dan perkembangan kognitif seseorang. Ini dapat dimaklumi sebagai tradisi ilmiah Barat yang hanya menumpukan pada konsep empirisme, apa yang terlihat oleh analisis penelitian. Sementara potensi fitrah merupakan konsep keagamaan yang dianggap tidak empirik karena di dalamnya memuat keyakinan tentang struktur jiwa manusia, seperti ruh, akal, qalb dan nafs.

Sementara jauh sebelumnya, Sigmund Freud memiliki pendapat tentang potensi pada diri manusia yang sangat berpengaruh terhadap karakternya, yaitu: id, ego, dan superego (es, ich, ueberich). Menurutnya, perilaku manusia itu ditentukan oleh kekuatan irrasional yang tidak disadari dari dorongan biologis dan dorongan naluri psiko-seksual tertentu pada enam tahun pertama dalam kehidupannya. Berdasarkan teorinya tersebut, Freud menyimpulkan bahwa moralitas merupakan sebuah proses penyesuaian antara id, ego, dan superego. Titik lemah terbesar Freud dan para penganutnya bukan pada kesalahan teorinya, tetapi adalah over generalisasi dari teori tersebut, sehingga dalam kacamata Freud, manusia dapat dikatakan tidak berbeda dengan binatang, bahkan lebih menderita karena tidak sebebas binatang dalam melampiaskan nafsunya.

Di sisi lain, ada tokoh psikologi Barat, William James, berpendapat dalam bukunya The Varieties of Religious Experience (1982) yang menyebutkan bahwa manusia dikaruniai insting religius (naluri beragama), yaitu makhluk yang bertuhan dan beragama. James tidak menyetujui pandangan para pakar yang menganggap fenomena keagamaan ruhaniah manusia selalu berkaitan dengan –bahkan berawal dari-- kondisi psiko-fisiologis dan kesehatan seseorang. Ia menentang pandangan materialisme medis yang mereduksi agama dan pengalaman religius yang sifatnya spiritual, menjadi sesuatu yang bersumber dari gangguan syaraf. Menurut telaah James terhadap pengalaman spiritual-religius, bahwa pengalaman religius individu-individu berkaitan dengan integritas kepribadian yang baik. Penghayatan seperti itulah oleh William James disebut sebagai pengalaman religi atau keagamaan (the existence of great power). Artinya, adanya pengakuan terhadap kekuatan di luar diri yang serba Maha dapat dijadikan sebagai sumber nilai-nilai luhur abadi yang mengatur tata hidup manusia dan alam semesta raya ini.

Di dalam Islam, Al-Ghazali memiliki pandangan unik tentang pebentukan karakter manusia dalam kitab al-Maqshad al-Asna Syarh Asma Allah al-Husna (tt). Ia menyatakan bahwa sumber pembentukan karakter yang baik itu dapat dibangun melalui internalisasi nama-nama Allah (asma’ al-Husna) dalam perilaku seseorang. Artinya, untuk membangun karakter yang baik, sejauh kesanggupannya, manusia meniru-niru perangai dan sifat-sifat ketuhanan, seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, zuhud, ikhlas beragama, dan sebagainya. Sumber kebaikan manusia terletak pada kebersihan rohaninya dan taqarub kepada Tuhan. Karena itu, Al-Ghazali tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir tetapi juga kebersihan ruhani.

Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang sholat, puasa, dan haji, dapat disimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu merupakan pangkal dari segala jalan pembersihan ruhani. Akhlak yang dikembangkan Al-Ghazali bercorak teleologis (ada tujuannya), sebab ia menilai amal dengan mengacu kepada akibatnya. Corak etika ini mengajarkan, bahwa amal itu baik ketika menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya menjurus ke tujuan itu. Mengenai tujuan pokok etika Al-Ghazali ditemui dalam semboyan tasawuf yang terkenal al-takhalluq bi-akhlaqillahi ‘ala thaqatil basyariyah, atau pada semboyan yang lain, al-shifatir-rahman ala thaqalil–basyatiyah.

Sementara dalam kitabnya, Tahdzib al-Akhlaq, Ibnu Makawaih menunjukkan fakta-fakta kompleksitas konseptual dalam pembentukan watak seseorang. Watak yang baik dapat dibentuk melalui tindakan yang benar, terorganisir dan sistematis. Menurutnya, jiwa adalah abadi dan substansi bebas yang mengendalikan tubuh. Jiwa adalah intisari berlawanan pada tubuh, sehingga tidak mati karena terlibat dalam satu gerakan lingkaran dan gerakan abadi, direplikasi oleh organisasi dari surga. Gerakan ini berlangsung dua arah, baik menuju alasan ke atas dan akal yang aktif atau terhadap masalah kebawah. Kebahagiaan timbul melalui gerakan keatas, kemalangan melalui gerakan dalam arah berlawanan. Menurutnya, kebaikan merupakan penyempurnaan dari aspek jiwa (yakni, alasan manusia) yang merupakan inti dari kemanusiaan dan membedakan dari bentuk keberadaan rendah.

Pendapat tersebut diperkuat oleh Muhammad Usman Najati dalam bukunya berjudul al-Quran wa Ilm an-Nafs (2005) bahwa dalam kepribadian manusia terkandung sifat-sifat hewan yang tercermin dalam berbagai kebutuhan fisik yang harus dipenuhi, dalam rangka menjaga diri dan keberlangsungan hidupnya. Selain itu, dalam kepribadiannya juga terkandung sifat-sifat malaikat yang tercermin dalam kerinduan ruhaninya untuk mengenal Tuhan, beriman kepadaNya, menyembah kepadaNya dan mensucikannNya.

Dengan demikian, dalam karakter penciptaan manusia terdapat kecenderungan untuk berbuat baik dan jahat; kecenderungan untuk menuruti hawa nafsu fisiknya dan tenggelam dalam menikmati kesenangan; dan kecenderungan untuk mencapai puncak keutamaan, ketakwaan, cita-cita luhur kemanusiaan, dan amal baik, serta ketenangan jiwa dan kebahagiaan spiritual yang diwujudkannya. Dalam pandangan Usman Najati, bahwa pola pembentukan kepribadian manusia tidak terlepas dari kedua potensi tersebut dan akan berkembang sesuai dengan proses kehidupannya. Namun, terdapat potensi fitrah yang sangat berperan, selain konsep sosial dalam proses pembentukan karakter seseorang.

Dari berbagai pendangan para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsep pembentukan karakter manusia dapat dilihat dari banyak aspek. Menurut ilmuan Barat lebih memandang manusia dari kaca mata empiristik. Sedangkan dalam perspektif Islam, manusia dipahami sebagai makhluk yang memiliki potensi fitrah dimana terdapat daya-daya yang dapat memunculkan sebuah sikap dan perilaku yang tidak lepas dari stimulus dari luar. Artinya, Islam memandang, karakter manusia tidak murni karena faktor potensi, tetapi juga faktor lingkungan yang mempengaruhinya.

Bahan Bacaan
1.Lawrence Kohlberg, The Psychology of Moral Development (1927)
2.Sigmund Freud,Three Essays on the Theory of Sexuality (2000)
3.William James, The Varieties of Religious Experience (1982)
4.Imam Al-Ghazali, al-Maqshad al-Asnā Syarh Asma Allah al-Husna (tt)
5.Ibnu Maskawaih, Tahdzib al-Akhlaq (tt.)
6.Muhammad Usman Najati, al-Quran wa Ilm an-Nafs (2005)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar